Pengantar
Indonesia
nampaknya memang akan selalu menjadi lahan subur lahir dan tumbuhnya berbagai
gerakan Islam dengan berbagai ragamnya; baik yang “hanya sekedar” perpanjangan
tangan dari gerakan yang sebelumnya telah ada, ataupun yang dapat dikategorikan
sebagai gerakan yang benar-benar baru. Dan sejarah pergerakan Islam Indonesia
benar-benar telah menjadi saksi mata terhadap kenyataan itu selama beberapa
kurun waktu lamanya.
Dan kini, di
era modern ini, mata sejarah semakin “dimanjakan” oleh kenyataan itu dengan
tumbuhnya aneka gerakan Islam modern yang masing-masing menyimpan keunikannya
tersendiri. Jagat pergerakan Islam Indonesia modern tidak hanya diramaikan oleh
organisasi semacam Muhammadiyah dan NU, tapi disana ada pemain-pemain baru yang
juga secara perlahan –namun pasti- mulai menanamkan pengaruhnya. Mulai dari
yang mengandalkan perjuangan politis hingga yang lebih memilih jalur gerakan
sosial-kemasyarakatan.
Salah satu
gerakan Islam tersebut adalah yang menyebut diri mereka sebagai Salafi atau Salafiyah.
Salah satu peristiwa fenomenal gerakan ini yang sempat “menghebohkan” adalah
kelahiran Laskar Jihad yang dimotori oleh Ja’far Umar Thalib pada 6 April 2000
pasca meletusnya konflik bernuansa SARA di Ambon dan Poso.[1]
Tulisan singkat
ini akan mencoba mengulas sejarah dan ide-ide penting gerakan salafi ini,
sekaligus memberikan beberapa catatan yang diharapkan dapat bermanfaat tidak
hanya bagi gerakan ini namun juga bagi semua gerakan Islam di Tanah Air.
Apa Itu Salafi?
Kata Salafi
adalah sebuah bentuk penisbatan kepada al-Salaf. Kata al-Salaf sendiri secara
bahasa bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita.[2]
Adapun makna al-Salaf secara terminologis yang dimaksud di sini adalah generasi
yang dibatasi oleh sebuah penjelasan Rasulullah saw dalam haditsnya:
“Sebaik-baik
manusia adalah (yang hidup) di masaku, kemudian yang mengikuti mereka, kemudian
yang mengikuti mereka…”[3]
Berdasarkan
hadits ini, maka yang dimaksud dengan al-Salaf adalah para sahabat Nabi saw,
kemudian tabi’in, lalu atba’ al-tabi’in. Karena itu, ketiga kurun ini kemudian
dikenal juga dengan sebutan al-Qurun al-Mufadhdhalah (kurun-kurun yang
mendapatkan keutamaan). Sebagian ulama kemudian menambahkan label al-Shalih
(menjadi al-Salaf al-Shalih) untuk memberikan karakter pembeda dengan pendahulu
kita yang lain. Sehingga seorang salafi berarti seorang yang mengaku mengikuti
jalan para sahabat Nabi saw, tabi’in dan atba’ al-tabi’in dalam seluruh sisi
ajaran dan pemahaman mereka.
Sampai di sini
nampak jelas bahwa sebenarnya tidak masalah yang berarti dengan paham Salafiyah
ini, karena pada dasarnya setiap muslim akan mengakui legalitas kedudukan para
sahabat Nabi saw dan dua generasi terbaik umat Islam sesudahnya itu; tabi’in
dan atba’ al-tabi’in. Atau dengan kata lain seorang muslim manapun sebenarnya
sedikit-banyak memiliki kadar kesalafian dalam dirinya meskipun ia tidak pernah
menggembar-gemborkan pengakuan bahwa ia seorang salafi. Sebagaimana juga
pengakuan kesalafian seseorang juga tidak pernah dapat menjadi jaminan bahwa ia
benar-benar mengikuti jejak para al-Salaf al-Shalih, dan –menurut penulis- ini
sama persis dengan pengakuan kemusliman siapapun yang terkadang lebih sering
berhenti pada taraf pengakuan belaka.
Namun kemudian,
penggunaan istilah Salafi ini secara khusus mengarah pada kelompok gerakan
Islam tertentu setelah maraknya apa yang disebut “Kebangkitan Islam di Abad 15
Hijriyah”. Terutama yang berkembang di Tanah Air, mereka memiliki beberapa ide
dan karakter yang khas yang kemudian membedakannya dengan gerakan pembaruan
Islam lainnya.
Sejarah
Kemunculan Salafi di Indonesia
Tidak dapat
dipungkiri bahwa gerakan Salafi di Indonesia banyak dipengaruhi oleh ide dan
gerakan pembaruan yang dilancarkan oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab di kawasan
Jazirah Arabia. Menurut Abu Abdirrahman al-Thalibi, ide pembaruan Ibn ‘Abd
al-Wahhab diduga pertama kali dibawa masuk ke kawasan Nusantara oleh beberapa
ulama asal Sumatera Barat pada awal abad ke-19. Inilah gerakan Salafiyah
pertama di tanah air yang kemudian lebih dikenal dengan gerakan kaum Padri,
yang salah satu tokoh utamanya adalah Tuanku Imam Bonjol. Gerakan ini sendiri
berlangsung dalam kurun waktu 1803 hingga sekitar 1832. Tapi, Ja’far Umar
Thalib mengklaim –dalam salah satu tulisannya[4]-
bahwa gerakan ini sebenarnya telah mulai muncul bibitnya pada masa Sultan Aceh
Iskandar Muda (1603-1637). Sedangkan menurut M.Imdadun Rahmat dalam bukunya “Arus
Baru Islam Radikal” menyatakan bahwa munculnya gerakan salafi di tanah air
ini diawali dengan datangnya Syekh Abdul Aziz Abdullah Al-Ammar, seorang murid
tokoh paling penting salafi di seluruh dunia Syech Abdullah bin Baz ke Jakarta
dengan mendirikan Lembaga Pengajaran Bahasa Arab (LPBA) yang sekarang ini
dirubah namanya menjadi LIPIA[5].
Disamping itu,
ide pembaruan ini secara relatif juga kemudian memberikan pengaruh pada
gerakan-gerakan Islam modern yang lahir kemudian, seperti Muhammadiyah, PERSIS,
dan Al-Irsyad. “Kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah” serta pemberantasan
takhayul, bid’ah dan khurafat kemudian menjadi semacam isu mendasar yang
diusung oleh gerakan-gerakan ini. Meskipun satu hal yang patut dicatat bahwa
nampaknya gerakan-gerakan ini tidak sepenuhnya mengambil apalagi menjalankan
ide-ide yang dibawa oleh gerakan purifikasi Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab. Apalagi
dengan munculnya ide pembaruan lain yang datang belakangan, seperti ide
liberalisasi Islam yang nyaris dapat dikatakan telah menempati posisinya di
setiap gerakan tersebut.
Di tahun 80-an,
-seiring dengan maraknya gerakan kembali kepada Islam di berbagai kampus di
Tanah air- mungkin dapat dikatakan sebagai tonggak awal kemunculan gerakan
Salafiyah modern di Indonesia. Adalah Ja’far Umar Thalib salah satu tokoh utama
yang berperan dalam hal ini. Dalam salah satu tulisannya yang berjudul “Saya
Merindukan Ukhuwah Imaniyah Islamiyah”, ia menceritakan kisahnya mengenal paham
ini dengan mengatakan:[6]
“Ketika saya belajar agama di
Pakistan antara tahun 1986 s/d 1987, saya melihat betapa kaum muslimin di dunia
ini tercerai berai dalam berbagai kelompok aliran pemahaman. Saya sedih dan
sedih melihat kenyataan pahit ini. Ketika saya masuk ke medan jihad fi
sabilillah di Afghanistan antara tahun tahun 1987 s/d 1989, saya melihat
semangat perpecahan di kalangan kaum muslimin dengan mengunggulkan pimpinan
masing-masing serta menjatuhkan tokoh-tokoh lain…Di tahun-tahun jihad fi
sabilillah itu saya mulai berkenalan dengan para pemuda dari Yaman dan Surian
yang kemudian mereka memperkenalkan kepada saya pemahaman Salafus Shalih Ahlus
Sunnah wal Jamaah. Saya mulai kenal dari mereka seorang tokoh dakwah Salafiyah
bernama Al-‘Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i. Kepiluan di Afghanistan saya
dapati tanda-tandanya semakin menggejala di Indonesia. Saya kembali ke
Indonesia pada akhir tahun 1989, dan padajanuari 1990 saya mulai berdakwah.
Perjuangan dakwah yang saya serukan adalah dakwah Salafiyah.”
Ja’far Thalib
sendiri kemudian mengakui bahwa ada banyak yang berubah dari pemikirannya,
termasuk diantaranya sikap dan kekagumannya pada Sayyid Quthub, salah seorang
tokoh Ikhwanul Muslimin yang dahulu banyak ia lahap buku-bukunya. Perkenalannya
dengan ide gerakan ini membalik kekaguman itu 180 derajat menjadi sikap kritis
yang luar biasa –untuk tidak mengatakan sangat benci[7]
Di samping
Ja’far Thalib, terdapat beberapa tokoh lain yang dapat dikatakan sebagai
penggerak awal Gerakan Salafi Modern di Indonesia, seperti: Yazid Abdul Qadir
Jawwaz (Bogor), Abdul Hakim Abdat (Jakarta), Muhammad Umar As-Sewed (Solo),
Ahmad Fais Asifuddin (Solo), dan Abu Nida’ (Yogyakarta). Nama-nama ini bahkan
kemudian tergabung dalam dewan redaksi Majalah As-Sunnah –majalah Gerakan
Salafi Modern pertama di Indonesia-, sebelum kemudian mereka berpecah beberapa
tahun kemudian.
Adapun
tokoh-tokoh luar Indonesia yang paling berpengaruh terhadap Gerakan Salafi
Modern ini –di samping Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab tentu saja- antara lain
adalah:
1. Ulama-ulama Saudi Arabia
secara umum.
2. Syekh Muhammad Nashir al-Din
al-Albany di Yordania (w. 2001)
3. Syekh Rabi al-Madkhaly di
Madinah
4. Syekh Muqbil al-Wadi’iy di
Yaman (w. 2002).
Tentu ada
tokoh-tokoh lain selain ketiganya, namun ketiga tokoh ini dapat dikatakan
sebagai sumber inspirasi utama gerakan ini. Dan jika dikerucutkan lebih jauh,
maka tokoh kedua dan ketiga secara lebih khusus banyak berperan dalam
pembentukan karakter gerakan ini di Indonesia. Ide-ide yang berkembang di
kalangan Salafi modern tidak jauh berputar dari arahan, ajaran dan fatwa kedua
tokoh tersebut; Syekh Rabi’ al-Madkhaly dan Syekh Muqbil al-Wadi’iy. Kedua
tokoh inilah yang kemudian memberikan pengaruh besar terhadap munculnya gerakan
Salafi ekstrem, atau –meminjam istilah Abu Abdirrahman al-Thalibi- gerakan
Salafi Yamani[8] atau
Salafiyuun Al-jamiyuun ( salafiyun yang beringas)[9].
Ide-ide Penting
Gerakan Salafi
Pertanyaan
paling mendasar yang muncul kemudian adalah apa yang menjadi ide penting atau
karakter khas gerakan ini dibanding gerakan lainnya yang disebutkan
sedikit-banyak terpengaruh dengan ide purifikasi Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab di
Jazirah Arabia?
Setidaknya ada
beberapa ide penting dan khas gerakan Salafi Modern dengan gerakan-gerakan
tersebut, yaitu:
1. Hajr
Mubtadi’ (Pengisoliran terhadap pelaku bid’ah)
Sebagai sebuah
gerakan purifikasi Islam, isu bid’ah tentu menjadi hal yang mendapatkan
perhatian gerakan ini secara khusus. Upaya-upaya yang mereka kerahkan salah
satunya terpusat pada usaha keras untuk mengkritisi dan membersihkan ragam
bid’ah yang selama ini diyakini dan diamalkan oleh berbagai lapisan masyarakat
Islam. Dan sebagai sebuah upaya meminimalisir kebid’ahan, para ulama Ahl al-Sunnah
menyepakati sebuah mekanisme yang dikenal dengan hajr al-mubtadi’ atau pengisoliran
terhadap mubtadi’. Dan tentu saja, semua gerakan salafi sepakat akan hal ini.
Akan tetapi,
pada prakteknya di Indonesia, masing-masing faksi –salafi Yamani dan haraki- sangat
berbeda. Dalam hal ini, salafi Yamani terkesan membabi buta dalam menerapkan
mekanisme ini. Fenomena yang nyata akan hal ini mereka terapkan dengan cara
melemparkan tahdzir (warning) terhadap person yang bahkan mengaku mendakwahkan
gerakan salafi. Puncaknya adalah ketika mereka menerbitkan “daftar nama-nama
ustadz yang direkomendasikan” dalam situs mereka www.salafy.or.id. Dalam daftar
ini dicantumkan 86 nama ustadz dari Aceh sampai Papua yang mereka anggap dapat
dipercaya untuk dijadikan rujukan, dan ‘uniknya’ nama-nama itu didominasi oleh
murid-murid Syekh Muqbil al-Wadi’i di Yaman.
Sementara
Salafi Haraki cenderung melihat mekanisme hajr al-mubtadi’ ini sebagai sesuatu
yang tidak mutlak dilakukan, sebab semuanya tergantung pada maslahat dan
mafsadatnya. Menurut mereka, hajr al-mubtadi’ dilakukan tidak lebih untuk
memberikan efek jera kepada sang pelaku bid’ah. Namun jika itu tidak
bermanfaat, maka boleh jadi metode ta’lif al-qulub-lah yang berguna.
2. Sikap
terhadap politik (parlemen dan pemilu).
Hal lain yang
menjadi ide utama gerakan ini adalah bahwa gerakan Salafi bukanlah gerakan
politik dalam arti yang bersifat praktis. Bahkan mereka memandang keterlibatan
dalam semua proses politik praktis seperti pemilihan umum sebagai sebuah bid’ah
dan penyimpangan. Ide ini terutama dipegangi dan disebarkan dengan gencar oleh
pendukung Salafi Yamani.
Berbeda dengan
Salafi Haraki yang cenderung menganggap masalah ini sebagai persoalan
ijtihadiyah belaka.
3. Sikap
terhadap gerakan Islam yang lain.
Pandangan
pendukung gerakan Salafi modern di Indonesia terhadap berbagai gerakan lain
yang ada sepenuhnya merupakan imbas aksiomatis dari penerapan prinsip hajr
al-mubtadi’ yang telah dijelaskan terdahulu. Baik Salafi Yamani maupun Haraki,
sikap keduanya terhadap gerakan Islam lain sangat dipengaruhi oleh pandangan
mereka dalam penerapan hajr al-mubtadi’. Sehingga tidak mengherankan dalam poin
inipun mereka berbeda pandangan.
Jika Salafi
Haraki cenderung ‘moderat’ dalam menyikapi gerakan lain, maka Salafi Yamani dikenal
sangat ekstrim bahkan seringkali tanpa kompromi sama sekali. Fenomena sikap
keras Salafi Yamani terhadap gerakan Islam lainnya dapat dilihat dalam beberapa
contoh berikut:
a. Sikap terhadap Ikhwanul Muslimin
Barangkali
tidak berlebihan jika dikatakan Ikhwanul Muslimin nampaknya menjadi musuh utama
di kalangan Salafi Yamani. Mereka bahkan seringkali memelesetkannya menjadi
“Ikhwanul Muflisin”. Di Indonesia sendiri, sikap ini berimbas kepada Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) yang dianggap sebagai representasi Ikhwanul Muslimin
di Indonesia.
Secara umum,
ada beberapa hal yang dianggap sebagai penyimpangan oleh kalangan Salafi Yamani
dalam tubuh Ikhwanul Muslimin, diantaranya:
- Bai’at yang dianggap seperti
bai’at sufiyah dan kemiliteran.
- Adanya marhalah (fase-fase)
dalam dakwah yang menyerupai prinsip aliran Bathiniyah.
- Organisasi kepartaian (tanzhim
hizb).
Berbeda dengan
yang disebut Salafi Haraki, mereka cenderung kooperatif dalam melihat
gerakan-gerakan Islam yang ada dalam bingkai “nata’awan fima ittafaqna ‘alaih,
wa natanashahu fima ikhtalafna fihi.” Karena itu, faksi ini cenderung lebih
mudah memahami bahkan berinteraksi dengan kelompok lain, termasuk misalnya
Ikhwanul Muslimin. Meskipun untuk itu kelompok inipun harus rela diberi cap
“Sururi” oleh kelompok Salafi Yamani. Yayasan Al-Sofwa, misalnya, masih
mengakomodir kaset-kaset ceramah beberapa tokoh PKS seperti DR.Ahzami Sami’un
Jazuli.
b. Sikap
terhadap Sururiyah
Secara umum,
Sururi atau Sururiyah adalah label yang disematkan kalangan Salafi Yamani
terhadap Salafi Haraki yang dianggap ‘mencampur-adukkan’ berbagai manhaj
gerakan Islam dengan manhaj salaf. Kata Sururiyah sendiri adalah penisbatan
kepada Muhammad Surur bin Zainal Abidin.
Muhammad bin
Surur yang lahir di Suriah dahulunya adalah Ikhwanul Muslimin. Kemudian ia
menyempal dari jamaah sesat ini dan membangun gerakannya sendiri berdasarkan
pemikiran-pemikiran Sayyid Quthub (misalnya masalah demonstrasi, kudeta dan
yang sejenisnya).
Tulisan yang
sama juga menyimpulkan beberapa sisi persamaan antara Sururiyah dengan Ikhwanul
Muslimin, yaitu:
- Keduanya sama-sama mengkafirkan
golongan lain dan pemerintah muslim.
- Keduanya satu ide dalam masalah
demonstrasi, mobilisasi dan selebaran-selebaran.
- Keduanya sama dalam masalah
pembinaan revolusi dalam rangka kudeta.
- Keduanya sama dalam hal tanzhim
dan sistem kepemimpinan yang mengerucut (piramida).
- Keduanya sama-sama tenggelam
dalam politik.
Hanya saja
banyak ‘tuduhan’ sebenarnya terlalu tergesa-gesa untuk tidak mengatakan membabi
buta. Ada yang tidak mempunyai bukti akurat, atau termasuk persoalan yang
sebenarnya termasuk kategori ijtihad dan tidak bisa disebut sebagai kesesatan
(baca: bid’ah).
4. Sikap
terhadap pemerintah
Secara umum,
sebagaimana pemerintah yang umum diyakini Ahl al-Sunnah –yaitu ketidakbolehan
khuruj atau melakukan gerakan separatisme dalam sebuah pemerintahan Islam yang
sah-, Gerakan Salafi juga meyakini hal ini. Itulah sebabnya, setiap tindakan
atau upaya yang dianggap ingin menggoyang pemerintahan yang sah dengan mudah diberi
cap Khawarij, bughat atau yang semacamnya.
“Ja’far Umar Thalib Telah Meninggalkan Kita…”
Kalimat di atas
mungkin dapat dijadikan sebagai bukti fase baru perkembangan gerakan Salafi di
Indonesia. Setelah sebelumnya dijelaskan bahwa dalam perjalanannya gerakan ini
terbagi menjadi setidaknya 2 faksi: Yamani dan haraki, maka setidaknya sejak
dewan eksekutif FKAWJ membubarkan FKAWJ dan Laskar Jihad pada pertengahan
Oktober 2002, ada hembusan angin perubahan yang sangat signifikan di tubuh
gerakan ini. Salafi Yamani ternyata kemudian berpecah menjadi 2 kelompok: yang
pro Ja’far dan yang kontra terhadapnya.
Ja’far Umar Thalib sejak saat itu dapat dikatakan menjadi ‘bulan-bulanan’ kelompok eks Laskar Jihad yang kontra dengannya. Apalagi setelah DR.Rabi’ al-Madkhali –ulama yang dulu sering ia jadikan rujukan fatwa- justru mengeluarkan tahdzir terhadapnya. Pesantrennya di Yogyakarta pun mulai ditinggalkan oleh mereka yang dulu menjadi murid-muridnya.
Ja’far Umar Thalib sejak saat itu dapat dikatakan menjadi ‘bulan-bulanan’ kelompok eks Laskar Jihad yang kontra dengannya. Apalagi setelah DR.Rabi’ al-Madkhali –ulama yang dulu sering ia jadikan rujukan fatwa- justru mengeluarkan tahdzir terhadapnya. Pesantrennya di Yogyakarta pun mulai ditinggalkan oleh mereka yang dulu menjadi murid-muridnya.
Uniknya,
kelompok yang kontra terhadapnya justru ‘dipimpin’ oleh Muhammad Umar As-Sewed,
orang yang dulu menjadi tangan kanannya (wakil panglima) saat menjadi panglima
Laskar Jihad. Ja’far Thalib-pun mulai dekat dengan orang-orang yang dulu
dianggap tidak mungkin bersamanya. Arifin Ilham ‘Majlis Az-Zikra’ dan Hamzah
Haz, contohnya.
Karena itu,
Qomar ZA –redaktur majalah Asy-Syariah yang dulu adalah murid Ja’far Umar
Thalib- menulis artikel pendek berjudul “Ja’far Umar Thalib Telah Meninggalkan
Kita…”.[10]
Di sana antara lain ia menulis:
“Adapun sekarang betapa jauh keadaannya
dari yang dulu (Ja’far Umar Thalib, red). Jangankan majlis yang engkau tidak
mau menghadirinya saat itu, bahkan sekarang majlis dzikirnya Arifin Ilham kamu
hadiri, mejlis Refleksi Satu Hati dengan para pendeta dan biksu kamu hadiri (di
UGM, red), majlis dalam peresmian pesantren Tawwabin yang diprakarsai oleh
Habib Riziq Syihab, Abu Bakar Baa’syir Majelis Mujahidin Indonesia dan
lain-lain. Kamu hadiri juga peringatan Isra’ Mi’raj sebagaimana dinukil dalam
majalah Sabili dan banyak lagi…
Apakah gurumu yang sampai saat
ini kamu suka menebeng di belakangnya yaitu Syekh Muqbil, semoga Allah
merahmatinya, akan tetap memujimu dengan keadaanmu yang semacam ini??…
Asy-Syaikh Rabi’ berkata: “…Dan
saya katakan: Dialah yang meninggalkan kalian dan meninggalkan manhaj ini
(manhaj Ahlus Sunnah)…”[11]
Penutup
Demikianlah
paparan singkat tentang gerakan Salafi modern di Indonesia. Sudah tentu masih
banyak sisi gerakan ini yang belum tertuang dalam tulisan ini. Dan di bagian
akhir tulisan ini, ada beberapa catatan yang perlu penulis kemukakan atas
gerakan ini:
1. Diperlukan kajian yang
komperhensif tentang sejarah masa lalu ummat Islam, dan termasuk didalamnya
sejarah generasi As-Salaf Ash-Shalih yang menjadi panutan semua gerakan Islam
–tentu saja dengan kadar yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain-. Dan
khusus untuk pendukung gerakan Salafi ini, ada banyak sisi kehidupan As-Salaf
yang mungkin terlupakan; seperti: kesantunan dan kearifan dalam menyikapi
perbedaan yang masih mungkin untuk ditolerir, serta bersikap proporsional dan
adil dalam menyikapi kesalahan atau kekeliruan pihak lain.
2. Salah satu kesalahan utama
pendukung gerakan ini –khususnya Salafi Yamani- adalah ketidaktepatan dalam
menyimpulkan apakah sesuatu itu dapat dikategorikan sebagai manhaj baku
kalangan As-Salaf atau bukan. Dalam kasus di lapangan, seringkali karakter
pribadi seorang ulama dianggap sebagai bagian dari manhaj Salafi. Padahal kita
semua memahami bahwa setiap orang memiliki tabiat dasar yang nyaris berbeda.
Jika Abu Bakr dikenal dengan kelembutannya, maka Umar dikenal dengan
ketegasannya. Berbeda lagi dengan Abu Dzar yang keteguhan prinsipnya membuat
dia lebih cocok hidup sendiri daripada terlalu banyak melakukan interaksi
sosial.
Dalam kasus
Salafi misalnya, sebagian pendukungnya banyak mengadopsi karakter Syekh Rabi
atau Syekh Muqbil misalnya, yang memang dikenal dengan karakter pribadi yang
keras. Padahal masih banyak ulama rujukan mereka yang cenderung lebih toleran
dan elegan.
Daftar Pustaka :
Abu al-Fadhl Muhammad ibn Manzhur. Lisan al-‘Arab. Dar Shadir. Beirut. Cetakan pertama. 1410H.
Saya Merindukan Ukhuwah Imaniyah Islamiyah. Ja’far Umar Thalib. Majalah
SALAFY. Edisi 5. Tahun 1426/2005
Ja’far Umar Thalib: Sang Ustadz yang Penuh Warna, http://www.tempointeraktive.com
Abu Abdirrahman Al-Thalibi. Dakwah
Salafiyah Dakwah Bijak, Meluruskan Sikap Keras Dai Salafi. Hujjah Press.
Jakarta. Cetakan kedua. Maret 2006.
M. Imdadun Rahmat. 2005. Arus Baru Islam Radikal; Revivalisme Islam
Timur Tengah Ke Indonesia. Pamulang Timur: Erlangga
[1]
Lih. Majalah
SALAFY, edisi 5 Tahun 2005, hal. 13.
[2]
Lih. Lisan
al-Arab, entri Sa-La-Fa.
[3]
HR. Bukhari dan
Muslim
[4]
Pasang Surut
Menegakkan Syari’ah Islamiyah, majalah SALAFY, hal. 2-12, edisi 40 tahun
1422/2001. Seputar masalah ini juga dapat dilihat dalam Laporan International
Crisis Group bertajuk “Indonesia Backgrounder: Why Salafism and Terrorism
Mostly Don’t Mix”, Asia Report no.83, 13 September 2004, hal. 5-6.
[5]
M. Imdadun Rahmat.2005.hlm:100
[6]
Majalah SALAFY,
hal. 3 (Edisi 5, Tahun 2005).
[7]
Lih. Ja’far
Umar Thalib: Sang Ustadz yang Penuh Warna, http://www.tempointeraktive.com
[8]
Lih. Dakwah
Salafiyah Dakwah Bijak, hal.13
[9]
M.Imdadun Rahmat.2005.hlm:69
[10]
Lih.
www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=664.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar