Total Tayangan Halaman

Jumat, 05 April 2013

makalah SALAFI



Pengantar
Indonesia nampaknya memang akan selalu menjadi lahan subur lahir dan tumbuhnya berbagai gerakan Islam dengan berbagai ragamnya; baik yang “hanya sekedar” perpanjangan tangan dari gerakan yang sebelumnya telah ada, ataupun yang dapat dikategorikan sebagai gerakan yang benar-benar baru. Dan sejarah pergerakan Islam Indonesia benar-benar telah menjadi saksi mata terhadap kenyataan itu selama beberapa kurun waktu lamanya.
Dan kini, di era modern ini, mata sejarah semakin “dimanjakan” oleh kenyataan itu dengan tumbuhnya aneka gerakan Islam modern yang masing-masing menyimpan keunikannya tersendiri. Jagat pergerakan Islam Indonesia modern tidak hanya diramaikan oleh organisasi semacam Muhammadiyah dan NU, tapi disana ada pemain-pemain baru yang juga secara perlahan –namun pasti- mulai menanamkan pengaruhnya. Mulai dari yang mengandalkan perjuangan politis hingga yang lebih memilih jalur gerakan sosial-kemasyarakatan.
Salah satu gerakan Islam tersebut adalah yang menyebut diri mereka sebagai Salafi atau Salafiyah. Salah satu peristiwa fenomenal gerakan ini yang sempat “menghebohkan” adalah kelahiran Laskar Jihad yang dimotori oleh Ja’far Umar Thalib pada 6 April 2000 pasca meletusnya konflik bernuansa SARA di Ambon dan Poso.[1]
Tulisan singkat ini akan mencoba mengulas sejarah dan ide-ide penting gerakan salafi ini, sekaligus memberikan beberapa catatan yang diharapkan dapat bermanfaat tidak hanya bagi gerakan ini namun juga bagi semua gerakan Islam di Tanah Air.
Apa Itu Salafi?
Kata Salafi adalah sebuah bentuk penisbatan kepada al-Salaf. Kata al-Salaf sendiri secara bahasa bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita.[2] Adapun makna al-Salaf secara terminologis yang dimaksud di sini adalah generasi yang dibatasi oleh sebuah penjelasan Rasulullah saw dalam haditsnya:
Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di masaku, kemudian yang mengikuti mereka, kemudian yang mengikuti mereka…”[3]
Berdasarkan hadits ini, maka yang dimaksud dengan al-Salaf adalah para sahabat Nabi saw, kemudian tabi’in, lalu atba’ al-tabi’in. Karena itu, ketiga kurun ini kemudian dikenal juga dengan sebutan al-Qurun al-Mufadhdhalah (kurun-kurun yang mendapatkan keutamaan). Sebagian ulama kemudian menambahkan label al-Shalih (menjadi al-Salaf al-Shalih) untuk memberikan karakter pembeda dengan pendahulu kita yang lain. Sehingga seorang salafi berarti seorang yang mengaku mengikuti jalan para sahabat Nabi saw, tabi’in dan atba’ al-tabi’in dalam seluruh sisi ajaran dan pemahaman mereka. 
Sampai di sini nampak jelas bahwa sebenarnya tidak masalah yang berarti dengan paham Salafiyah ini, karena pada dasarnya setiap muslim akan mengakui legalitas kedudukan para sahabat Nabi saw dan dua generasi terbaik umat Islam sesudahnya itu; tabi’in dan atba’ al-tabi’in. Atau dengan kata lain seorang muslim manapun sebenarnya sedikit-banyak memiliki kadar kesalafian dalam dirinya meskipun ia tidak pernah menggembar-gemborkan pengakuan bahwa ia seorang salafi. Sebagaimana juga pengakuan kesalafian seseorang juga tidak pernah dapat menjadi jaminan bahwa ia benar-benar mengikuti jejak para al-Salaf al-Shalih, dan –menurut penulis- ini sama persis dengan pengakuan kemusliman siapapun yang terkadang lebih sering berhenti pada taraf pengakuan belaka.
Namun kemudian, penggunaan istilah Salafi ini secara khusus mengarah pada kelompok gerakan Islam tertentu setelah maraknya apa yang disebut “Kebangkitan Islam di Abad 15 Hijriyah”. Terutama yang berkembang di Tanah Air, mereka memiliki beberapa ide dan karakter yang khas yang kemudian membedakannya dengan gerakan pembaruan Islam lainnya.
Sejarah Kemunculan Salafi di Indonesia
Tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan Salafi di Indonesia banyak dipengaruhi oleh ide dan gerakan pembaruan yang dilancarkan oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab di kawasan Jazirah Arabia. Menurut Abu Abdirrahman al-Thalibi, ide pembaruan Ibn ‘Abd al-Wahhab diduga pertama kali dibawa masuk ke kawasan Nusantara oleh beberapa ulama asal Sumatera Barat pada awal abad ke-19. Inilah gerakan Salafiyah pertama di tanah air yang kemudian lebih dikenal dengan gerakan kaum Padri, yang salah satu tokoh utamanya adalah Tuanku Imam Bonjol. Gerakan ini sendiri berlangsung dalam kurun waktu 1803 hingga sekitar 1832. Tapi, Ja’far Umar Thalib mengklaim –dalam salah satu tulisannya[4]- bahwa gerakan ini sebenarnya telah mulai muncul bibitnya pada masa Sultan Aceh Iskandar Muda (1603-1637). Sedangkan menurut M.Imdadun Rahmat dalam bukunya “Arus Baru Islam Radikal” menyatakan bahwa munculnya gerakan salafi di tanah air ini diawali dengan datangnya Syekh Abdul Aziz Abdullah Al-Ammar, seorang murid tokoh paling penting salafi di seluruh dunia Syech Abdullah bin Baz ke Jakarta dengan mendirikan Lembaga Pengajaran Bahasa Arab (LPBA) yang sekarang ini dirubah namanya menjadi LIPIA[5].
Disamping itu, ide pembaruan ini secara relatif juga kemudian memberikan pengaruh pada gerakan-gerakan Islam modern yang lahir kemudian, seperti Muhammadiyah, PERSIS, dan Al-Irsyad. “Kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah” serta pemberantasan takhayul, bid’ah dan khurafat kemudian menjadi semacam isu mendasar yang diusung oleh gerakan-gerakan ini. Meskipun satu hal yang patut dicatat bahwa nampaknya gerakan-gerakan ini tidak sepenuhnya mengambil apalagi menjalankan ide-ide yang dibawa oleh gerakan purifikasi Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab. Apalagi dengan munculnya ide pembaruan lain yang datang belakangan, seperti ide liberalisasi Islam yang nyaris dapat dikatakan telah menempati posisinya di setiap gerakan tersebut.
Di tahun 80-an, -seiring dengan maraknya gerakan kembali kepada Islam di berbagai kampus di Tanah air- mungkin dapat dikatakan sebagai tonggak awal kemunculan gerakan Salafiyah modern di Indonesia. Adalah Ja’far Umar Thalib salah satu tokoh utama yang berperan dalam hal ini. Dalam salah satu tulisannya yang berjudul “Saya Merindukan Ukhuwah Imaniyah Islamiyah”, ia menceritakan kisahnya mengenal paham ini dengan mengatakan:[6]
“Ketika saya belajar agama di Pakistan antara tahun 1986 s/d 1987, saya melihat betapa kaum muslimin di dunia ini tercerai berai dalam berbagai kelompok aliran pemahaman. Saya sedih dan sedih melihat kenyataan pahit ini. Ketika saya masuk ke medan jihad fi sabilillah di Afghanistan antara tahun tahun 1987 s/d 1989, saya melihat semangat perpecahan di kalangan kaum muslimin dengan mengunggulkan pimpinan masing-masing serta menjatuhkan tokoh-tokoh lain…Di tahun-tahun jihad fi sabilillah itu saya mulai berkenalan dengan para pemuda dari Yaman dan Surian yang kemudian mereka memperkenalkan kepada saya pemahaman Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal Jamaah. Saya mulai kenal dari mereka seorang tokoh dakwah Salafiyah bernama Al-‘Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i. Kepiluan di Afghanistan saya dapati tanda-tandanya semakin menggejala di Indonesia. Saya kembali ke Indonesia pada akhir tahun 1989, dan padajanuari 1990 saya mulai berdakwah. Perjuangan dakwah yang saya serukan adalah dakwah Salafiyah.”
Ja’far Thalib sendiri kemudian mengakui bahwa ada banyak yang berubah dari pemikirannya, termasuk diantaranya sikap dan kekagumannya pada Sayyid Quthub, salah seorang tokoh Ikhwanul Muslimin yang dahulu banyak ia lahap buku-bukunya. Perkenalannya dengan ide gerakan ini membalik kekaguman itu 180 derajat menjadi sikap kritis yang luar biasa –untuk tidak mengatakan sangat benci[7]
Di samping Ja’far Thalib, terdapat beberapa tokoh lain yang dapat dikatakan sebagai penggerak awal Gerakan Salafi Modern di Indonesia, seperti: Yazid Abdul Qadir Jawwaz (Bogor), Abdul Hakim Abdat (Jakarta), Muhammad Umar As-Sewed (Solo), Ahmad Fais Asifuddin (Solo), dan Abu Nida’ (Yogyakarta). Nama-nama ini bahkan kemudian tergabung dalam dewan redaksi Majalah As-Sunnah –majalah Gerakan Salafi Modern pertama di Indonesia-, sebelum kemudian mereka berpecah beberapa tahun kemudian.
Adapun tokoh-tokoh luar Indonesia yang paling berpengaruh terhadap Gerakan Salafi Modern ini –di samping Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab tentu saja- antara lain adalah:
1. Ulama-ulama Saudi Arabia secara umum.
2. Syekh Muhammad Nashir al-Din al-Albany di Yordania (w. 2001)
3. Syekh Rabi al-Madkhaly di Madinah
4. Syekh Muqbil al-Wadi’iy di Yaman (w. 2002).
Tentu ada tokoh-tokoh lain selain ketiganya, namun ketiga tokoh ini dapat dikatakan sebagai sumber inspirasi utama gerakan ini. Dan jika dikerucutkan lebih jauh, maka tokoh kedua dan ketiga secara lebih khusus banyak berperan dalam pembentukan karakter gerakan ini di Indonesia. Ide-ide yang berkembang di kalangan Salafi modern tidak jauh berputar dari arahan, ajaran dan fatwa kedua tokoh tersebut; Syekh Rabi’ al-Madkhaly dan Syekh Muqbil al-Wadi’iy. Kedua tokoh inilah yang kemudian memberikan pengaruh besar terhadap munculnya gerakan Salafi ekstrem, atau –meminjam istilah Abu Abdirrahman al-Thalibi- gerakan Salafi Yamani[8] atau Salafiyuun Al-jamiyuun ( salafiyun yang beringas)[9].
Ide-ide Penting Gerakan Salafi
Pertanyaan paling mendasar yang muncul kemudian adalah apa yang menjadi ide penting atau karakter khas gerakan ini dibanding gerakan lainnya yang disebutkan sedikit-banyak terpengaruh dengan ide purifikasi Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab di Jazirah Arabia?
Setidaknya ada beberapa ide penting dan khas gerakan Salafi Modern dengan gerakan-gerakan tersebut, yaitu:
1. Hajr Mubtadi’ (Pengisoliran terhadap pelaku bid’ah)
Sebagai sebuah gerakan purifikasi Islam, isu bid’ah tentu menjadi hal yang mendapatkan perhatian gerakan ini secara khusus. Upaya-upaya yang mereka kerahkan salah satunya terpusat pada usaha keras untuk mengkritisi dan membersihkan ragam bid’ah yang selama ini diyakini dan diamalkan oleh berbagai lapisan masyarakat Islam. Dan sebagai sebuah upaya meminimalisir kebid’ahan, para ulama Ahl al-Sunnah menyepakati sebuah mekanisme yang dikenal dengan hajr al-mubtadi’ atau pengisoliran terhadap mubtadi’. Dan tentu saja, semua gerakan salafi sepakat akan hal ini.
Akan tetapi, pada prakteknya di Indonesia, masing-masing faksi –salafi Yamani dan haraki- sangat berbeda. Dalam hal ini, salafi Yamani terkesan membabi buta dalam menerapkan mekanisme ini. Fenomena yang nyata akan hal ini mereka terapkan dengan cara melemparkan tahdzir (warning) terhadap person yang bahkan mengaku mendakwahkan gerakan salafi. Puncaknya adalah ketika mereka menerbitkan “daftar nama-nama ustadz yang direkomendasikan” dalam situs mereka www.salafy.or.id. Dalam daftar ini dicantumkan 86 nama ustadz dari Aceh sampai Papua yang mereka anggap dapat dipercaya untuk dijadikan rujukan, dan ‘uniknya’ nama-nama itu didominasi oleh murid-murid Syekh Muqbil al-Wadi’i di Yaman.
Sementara Salafi Haraki cenderung melihat mekanisme hajr al-mubtadi’ ini sebagai sesuatu yang tidak mutlak dilakukan, sebab semuanya tergantung pada maslahat dan mafsadatnya. Menurut mereka, hajr al-mubtadi’ dilakukan tidak lebih untuk memberikan efek jera kepada sang pelaku bid’ah. Namun jika itu tidak bermanfaat, maka boleh jadi metode ta’lif al-qulub-lah yang berguna.

2. Sikap terhadap politik (parlemen dan pemilu).
Hal lain yang menjadi ide utama gerakan ini adalah bahwa gerakan Salafi bukanlah gerakan politik dalam arti yang bersifat praktis. Bahkan mereka memandang keterlibatan dalam semua proses politik praktis seperti pemilihan umum sebagai sebuah bid’ah dan penyimpangan. Ide ini terutama dipegangi dan disebarkan dengan gencar oleh pendukung Salafi Yamani.
Berbeda dengan Salafi Haraki yang cenderung menganggap masalah ini sebagai persoalan ijtihadiyah belaka.  
3. Sikap terhadap gerakan Islam yang lain.
Pandangan pendukung gerakan Salafi modern di Indonesia terhadap berbagai gerakan lain yang ada sepenuhnya merupakan imbas aksiomatis dari penerapan prinsip hajr al-mubtadi’ yang telah dijelaskan terdahulu. Baik Salafi Yamani maupun Haraki, sikap keduanya terhadap gerakan Islam lain sangat dipengaruhi oleh pandangan mereka dalam penerapan hajr al-mubtadi’. Sehingga tidak mengherankan dalam poin inipun mereka berbeda pandangan.
Jika Salafi Haraki cenderung ‘moderat’ dalam menyikapi gerakan lain, maka Salafi Yamani dikenal sangat ekstrim bahkan seringkali tanpa kompromi sama sekali. Fenomena sikap keras Salafi Yamani terhadap gerakan Islam lainnya dapat dilihat dalam beberapa contoh berikut:


a. Sikap terhadap Ikhwanul Muslimin
Barangkali tidak berlebihan jika dikatakan Ikhwanul Muslimin nampaknya menjadi musuh utama di kalangan Salafi Yamani. Mereka bahkan seringkali memelesetkannya menjadi “Ikhwanul Muflisin”. Di Indonesia sendiri, sikap ini berimbas kepada Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang dianggap sebagai representasi Ikhwanul Muslimin di Indonesia.
Secara umum, ada beberapa hal yang dianggap sebagai penyimpangan oleh kalangan Salafi Yamani dalam tubuh Ikhwanul Muslimin, diantaranya:
- Bai’at yang dianggap seperti bai’at sufiyah dan kemiliteran.
- Adanya marhalah (fase-fase) dalam dakwah yang menyerupai prinsip aliran Bathiniyah.
- Organisasi kepartaian (tanzhim hizb).
Berbeda dengan yang disebut Salafi Haraki, mereka cenderung kooperatif dalam melihat gerakan-gerakan Islam yang ada dalam bingkai “nata’awan fima ittafaqna ‘alaih, wa natanashahu fima ikhtalafna fihi.” Karena itu, faksi ini cenderung lebih mudah memahami bahkan berinteraksi dengan kelompok lain, termasuk misalnya Ikhwanul Muslimin. Meskipun untuk itu kelompok inipun harus rela diberi cap “Sururi” oleh kelompok Salafi Yamani. Yayasan Al-Sofwa, misalnya, masih mengakomodir kaset-kaset ceramah beberapa tokoh PKS seperti DR.Ahzami Sami’un Jazuli.
b. Sikap terhadap Sururiyah
Secara umum, Sururi atau Sururiyah adalah label yang disematkan kalangan Salafi Yamani terhadap Salafi Haraki yang dianggap ‘mencampur-adukkan’ berbagai manhaj gerakan Islam dengan manhaj salaf. Kata Sururiyah sendiri adalah penisbatan kepada Muhammad Surur bin Zainal Abidin.
Muhammad bin Surur yang lahir di Suriah dahulunya adalah Ikhwanul Muslimin. Kemudian ia menyempal dari jamaah sesat ini dan membangun gerakannya sendiri berdasarkan pemikiran-pemikiran Sayyid Quthub (misalnya masalah demonstrasi, kudeta dan yang sejenisnya).
Tulisan yang sama juga menyimpulkan beberapa sisi persamaan antara Sururiyah dengan Ikhwanul Muslimin, yaitu:
- Keduanya sama-sama mengkafirkan golongan lain dan pemerintah muslim.
- Keduanya satu ide dalam masalah demonstrasi, mobilisasi dan selebaran-selebaran.
- Keduanya sama dalam masalah pembinaan revolusi dalam rangka kudeta.
- Keduanya sama dalam hal tanzhim dan sistem kepemimpinan yang mengerucut (piramida).
- Keduanya sama-sama tenggelam dalam politik.
Hanya saja banyak ‘tuduhan’ sebenarnya terlalu tergesa-gesa untuk tidak mengatakan membabi buta. Ada yang tidak mempunyai bukti akurat, atau termasuk persoalan yang sebenarnya termasuk kategori ijtihad dan tidak bisa disebut sebagai kesesatan (baca: bid’ah).
4. Sikap terhadap pemerintah
Secara umum, sebagaimana pemerintah yang umum diyakini Ahl al-Sunnah –yaitu ketidakbolehan khuruj atau melakukan gerakan separatisme dalam sebuah pemerintahan Islam yang sah-, Gerakan Salafi juga meyakini hal ini. Itulah sebabnya, setiap tindakan atau upaya yang dianggap ingin menggoyang pemerintahan yang sah dengan mudah diberi cap Khawarij, bughat atau yang semacamnya.


“Ja’far Umar Thalib Telah Meninggalkan Kita…”
Kalimat di atas mungkin dapat dijadikan sebagai bukti fase baru perkembangan gerakan Salafi di Indonesia. Setelah sebelumnya dijelaskan bahwa dalam perjalanannya gerakan ini terbagi menjadi setidaknya 2 faksi: Yamani dan haraki, maka setidaknya sejak dewan eksekutif FKAWJ membubarkan FKAWJ dan Laskar Jihad pada pertengahan Oktober 2002, ada hembusan angin perubahan yang sangat signifikan di tubuh gerakan ini. Salafi Yamani ternyata kemudian berpecah menjadi 2 kelompok: yang pro Ja’far dan yang kontra terhadapnya.
            Ja’far Umar Thalib sejak saat itu dapat dikatakan menjadi ‘bulan-bulanan’ kelompok eks Laskar Jihad yang kontra dengannya. Apalagi setelah DR.Rabi’ al-Madkhali –ulama yang dulu sering ia jadikan rujukan fatwa- justru mengeluarkan tahdzir terhadapnya. Pesantrennya di Yogyakarta pun mulai ditinggalkan oleh mereka yang dulu menjadi murid-muridnya.
Uniknya, kelompok yang kontra terhadapnya justru ‘dipimpin’ oleh Muhammad Umar As-Sewed, orang yang dulu menjadi tangan kanannya (wakil panglima) saat menjadi panglima Laskar Jihad. Ja’far Thalib-pun mulai dekat dengan orang-orang yang dulu dianggap tidak mungkin bersamanya. Arifin Ilham ‘Majlis Az-Zikra’ dan Hamzah Haz, contohnya.
Karena itu, Qomar ZA –redaktur majalah Asy-Syariah yang dulu adalah murid Ja’far Umar Thalib- menulis artikel pendek berjudul “Ja’far Umar Thalib Telah Meninggalkan Kita…”.[10] Di sana antara lain ia menulis:
“Adapun sekarang betapa jauh keadaannya dari yang dulu (Ja’far Umar Thalib, red). Jangankan majlis yang engkau tidak mau menghadirinya saat itu, bahkan sekarang majlis dzikirnya Arifin Ilham kamu hadiri, mejlis Refleksi Satu Hati dengan para pendeta dan biksu kamu hadiri (di UGM, red), majlis dalam peresmian pesantren Tawwabin yang diprakarsai oleh Habib Riziq Syihab, Abu Bakar Baa’syir Majelis Mujahidin Indonesia dan lain-lain. Kamu hadiri juga peringatan Isra’ Mi’raj sebagaimana dinukil dalam majalah Sabili dan banyak lagi…
Apakah gurumu yang sampai saat ini kamu suka menebeng di belakangnya yaitu Syekh Muqbil, semoga Allah merahmatinya, akan tetap memujimu dengan keadaanmu yang semacam ini??…
Asy-Syaikh Rabi’ berkata: “…Dan saya katakan: Dialah yang meninggalkan kalian dan meninggalkan manhaj ini (manhaj Ahlus Sunnah)…”[11]




Penutup
Demikianlah paparan singkat tentang gerakan Salafi modern di Indonesia. Sudah tentu masih banyak sisi gerakan ini yang belum tertuang dalam tulisan ini. Dan di bagian akhir tulisan ini, ada beberapa catatan yang perlu penulis kemukakan atas gerakan ini:
1. Diperlukan kajian yang komperhensif tentang sejarah masa lalu ummat Islam, dan termasuk didalamnya sejarah generasi As-Salaf Ash-Shalih yang menjadi panutan semua gerakan Islam –tentu saja dengan kadar yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain-. Dan khusus untuk pendukung gerakan Salafi ini, ada banyak sisi kehidupan As-Salaf yang mungkin terlupakan; seperti: kesantunan dan kearifan dalam menyikapi perbedaan yang masih mungkin untuk ditolerir, serta bersikap proporsional dan adil dalam menyikapi kesalahan atau kekeliruan pihak lain.
2. Salah satu kesalahan utama pendukung gerakan ini –khususnya Salafi Yamani- adalah ketidaktepatan dalam menyimpulkan apakah sesuatu itu dapat dikategorikan sebagai manhaj baku kalangan As-Salaf atau bukan. Dalam kasus di lapangan, seringkali karakter pribadi seorang ulama dianggap sebagai bagian dari manhaj Salafi. Padahal kita semua memahami bahwa setiap orang memiliki tabiat dasar yang nyaris berbeda. Jika Abu Bakr dikenal dengan kelembutannya, maka Umar dikenal dengan ketegasannya. Berbeda lagi dengan Abu Dzar yang keteguhan prinsipnya membuat dia lebih cocok hidup sendiri daripada terlalu banyak melakukan interaksi sosial.
Dalam kasus Salafi misalnya, sebagian pendukungnya banyak mengadopsi karakter Syekh Rabi atau Syekh Muqbil misalnya, yang memang dikenal dengan karakter pribadi yang keras. Padahal masih banyak ulama rujukan mereka yang cenderung lebih toleran dan elegan.




Daftar Pustaka :
Abu al-Fadhl Muhammad ibn Manzhur. Lisan al-‘Arab.  Dar Shadir. Beirut. Cetakan pertama. 1410H.
Saya Merindukan Ukhuwah Imaniyah Islamiyah. Ja’far Umar Thalib. Majalah SALAFY. Edisi 5. Tahun 1426/2005
Ja’far Umar Thalib: Sang Ustadz yang Penuh Warna, http://www.tempointeraktive.com
 Abu Abdirrahman Al-Thalibi. Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak, Meluruskan Sikap Keras Dai Salafi. Hujjah Press. Jakarta. Cetakan kedua. Maret 2006.
M. Imdadun Rahmat. 2005. Arus Baru Islam Radikal; Revivalisme Islam Timur Tengah Ke Indonesia. Pamulang Timur: Erlangga



[1] Lih. Majalah SALAFY, edisi 5 Tahun 2005, hal. 13.
[2] Lih. Lisan al-Arab, entri Sa-La-Fa.
[3] HR. Bukhari dan Muslim
[4] Pasang Surut Menegakkan Syari’ah Islamiyah, majalah SALAFY, hal. 2-12, edisi 40 tahun 1422/2001. Seputar masalah ini juga dapat dilihat dalam Laporan International Crisis Group bertajuk “Indonesia Backgrounder: Why Salafism and Terrorism Mostly Don’t Mix”, Asia Report no.83, 13 September 2004, hal. 5-6.
[5] M. Imdadun Rahmat.2005.hlm:100
[6] Majalah SALAFY, hal. 3 (Edisi 5, Tahun 2005).
[7] Lih. Ja’far Umar Thalib: Sang Ustadz yang Penuh Warna, http://www.tempointeraktive.com
[8] Lih. Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak, hal.13
[9] M.Imdadun Rahmat.2005.hlm:69
[10] Lih. www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=664.
[11] Majalah SALAFY, edisi 5 tahun ke 5, hal. 9-10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar