Total Tayangan Halaman

Minggu, 07 April 2013

makalah IKHLAS



BAB I
PENDAHULUAN

Amal yang pasti diterima adalah yang dikerjakan dengan ikhlas. Amal hanya karena Allah semata, dan tidak ada harapan kepada makhluk sedikit pun. Niat ikhlas bisa dilakukan sebelum amal dilakukan, bisa juga disaat melakukan amal atau setelah amal dilakukan. Salah satu karunia Allah yang harus disyukuri adalah adanya kesempatan untuk beramal. Menjadi jalan kebaikan dan memberikan manfaat kepada orang lain. Karenanya, jangan pernah menunda kebaikan ketika kesempatan itu datang. Lakukan kebaikan semaksimal mungkin dan lupakan jasa yang sudah dilakukan. Serahkan segalanya hanya kepada Allah. Itulah aplikasi dari amal yang ikhlas.
  


BAB II
PEMBAHASAN

A.            Pengertian Ikhlas

Ikhlas adalah suci dalam niat; bersih batin dalam beramal; tidak berpura-pura; lurus hati dalam bertindak; jauh dari riya’ dan kemegahan dalam berlaku-berbuat, mengharapkan ridha Allah semata-mata.[1] Ikhlas merupakan amalan hati yang paling utama dan paling tinggi dan paling pokok, Ikhlas merupakan hakikat dan kunci dakwah para rasul sejak dahulu kala.
Menurut Erbe Sentanu ikhlas merupakan Defaul Factory Setting manusia, yakni manusia sudah dilahirkan dengan fitrah yang murni dari ilahi.  Hanya saja manusia itu sendirilah yang senang mendiskonnya sehingga kesempurnaannya menjadi berkurang. Ini akibat berbagai pengalaman hidup dan ketidak tepatan dalam berfikir atau berprasangka (judgment), sehingga hidupnya pun menjadi penuh kesulitan.[2]
Lafaz ikhlas menunjukkan pengertian jernih, bersih dan suci dari campuran dan pencemaran. Sesuatu yang murni artinya bersih tanpa ada campuran, baik yang bersifat materi maupun nonmateri.  Adapun pengertian ikhlas menurut syara’ adalah seperti yang diungkapkan oleh ibnu qayyim berikut: Mengesankan Allah dalam berniat ketika melakukan ketaatan, bertujuan hanya kepada Nya tanpa mempersekutukan Nya dengan sesuatupun. Dan menurut Al- Fairuzabi :” Ikhlas karena Allah , artinya meninggalkan riya’ dan tidak pamer.
Orang yang ikhlas adalah seseorang yang tidak peduli meskipun semua penghargaan atas dirinya hilang demi meraih kebaikan hubungan kalbunya dengan Allah, dan orang tersebut tidak ingin apa yang ia lakukan dipamerkan walaupun sebesar bizi zahrapun.
Sebagaimana Firman Allah SWT dlam surat Az- zumar ayat 14


14. Katakanlah: "Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku".
Dan dalam surat Al- An’am ayat 162-163 


162. Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.
163. tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)".

Dikisahkan oleh Umamah ra, ada seorang laki-laki yang datang menemui Rasulullah SAW dan bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah pendapat Engkau tentang seseorang yang berperang dengan tujuan mencari pahala dan popularitas diri. Kelak, apa yang akan ia dapat di akherat?” Rasulullah SAW menjawab, “Dia tidak mendapatkan apa-apa. Orang itu mengulangi lagi pertanyaannya sampai tiga kali. Tetapi Rasulullah SAW tetap menjawabnya, “Ia tidak menerima apa-apa!” Kemudian Beliau SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal perbuatan, kecuali yang murni dan yang mengharapkan ridha-Nya”[3]

B.            Makna Ikhlas dalam al-Qur’an

Secara etimologis, kata ikhlas merupakan bentuk mashdar dari kata akhlasha yang berasal dari akar kata khalasha. Menurut Luis Ma’luuf, kata khalasha ini mengandung beberapa macam arti sesuai dengan konteks kaliamatnya. Ia bisa berarti shafaa (jernih), najaa wa salima (selamat), washala (sampai), dan I’tazala (memisahkan diri).
Bila diteliti lebih lanjut, kata ikhlas sendiri sebenarnya tidak dijumpai secara langsung penggunaannya dalam al-Qur’an. Yang ada hanyalah kata-kata yang berderivat sama dengan kata ikhlas tersebut. Secara keseluruhan terdapat dalam tiga puluh ayat dengan penggunaan kata yang beragam. Kata-kata tersebut antara lain : kata khalashuu, akhlashnaahum, akhlashuu, astakhlish, al-khaalish, dan khaalish masing-masing sebanyak satu kali. Selanjutnya kata khaalishah lima kali, mukhlish (tunggal) tiga kali, mukhlishuun (jamak) satu kali, mukhlishiin (jamak) tujuh kali, mukhlash (tunggal) satu kali, dan mukhlashiin (jamak) sebanyak delapan kali.
Selanjutnya, ditinjau dari segi makna, termenologi ikhlas dalam al-Qur’an juga mengandung arti yang beragam. Dalam hal ini al-Alma’i merinci pemakaian termenologi tersebut kepada empat macam :
Pertama, ikhlas berarti al-ishthifaa’ (pilihan) seperti pada surat Shaad : 46-47. Di sini al-Alma’i mengutip penafsiran dari Ibn al-Jauzi terhadap ayat tersebut yang intinya bahwa Allah telah memilih mereka dan menjadikan mereka orang-orang yang suci.
Kedua, ikhlas berarti al-khuluus min al-syawaa’ib (suci dari segala macam kotorn), sebagaimana tertera dalam surat an-Nahl : 66 yang membicarakan tentang susu yang bersih yang berada di perut binatang ternak, meskipun pada mulanya bercampur dengan darah dan kotoran ; kiranya dapat dijadikan pelajaran bagi manusia.
Ketiga, ikhlas berarti al-ikhtishaash (kekhususan), seperti yang terdapat pada surat al-Baqarah : 94, al-An’am : 139, al-A’raf : 32, Yusuf : 54, dan al-Ahzab : 32.
Keempat, ikhlas berarti al-tauhid (mengesakan) dan berarti al-tathhir (pensucian) menurut sebagian qira’at. Ikhlas dalam artian pertama inilah yang paling banyak terdapat dalam al-Qur’an, antara lain terdapat dalam surat al-Zumar : 2,11,14, al-Baqarah : 139, al-A’raf : 29, Yunus : 22, al-Ankabut : 65, Luqmaan : 32, Ghaafir : 14,65, an-Nisaa : 146, dan al-Bayyinah : 5.
Adapun ikhlas dalam arti yang kedua (al-tathhiir) ditujukan kepada orang-orang yang telah disucikan Allah hatinya dari segala noda dan dosa sehingga mereka menjadi hamba Allah yang bersih dan kekasih pilihan-Nya. Hal ini seperti yang tercantum dalam surat Yusuf : 24, al-Hijr : 40, al-shaffat : 40,74,128,166,169, Shaad : 83, dan surat Maryam : 51. Pada ayat-ayat tersebut semuanya memakai kata mukhlashiin (jamak) kecuali surat Maryam : 51 yang memakai bentuk tunggal (mukhlash). Selain itu semua kata mukhlashiin dalam ayat-ayat tersebut selalu dikaitkan dengan kata ibaad (hamba).

C.            Ikhlas dalam Beragama

Menurut al-Jarjaani, pengertian ikhlas secara etimologis adalah menjauhkan perbuatan pura-pura (riya’) dalam melakukan ketaatan. Sedangkan secara terminologis, ikhlas adalah membersihkan hati dari segala noda yang dapat memperkeruh kejernihan. Sementara itu menurut al-Alma’i, definisi ikhlas secara syar’i adalah seseorang yang dalam perkataan, perbuatan dan jihadnya semata-mata ditujukan untuk Allah seraya mengharapkan keridhaan-Nya.
Dari kedua definisi di atas dapat dipahami bahwa ikhlas adalah menyengajakan suatu perbuatan karena Allah dan mengharapkan ridha-Nya serta memurnikan dari segala macam kotoran dan godaan seperti keinginan terhadap populeritas, simpati orang lain, kemewahan, kedudukan, harta, pemuasan hawa nafsu dan penyakit hati lainnya. Hal ini sesuai dengan perintah Allah yang tercantum dalam al-Qur’an surat al-An’am ayat 162-163, artinya : Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).”
Demikian juga dalam firman-Nya yang terdapat dalam surat al-Bayyinah ayat 5.
artinya : Mereka tidak disuruh kecuali untuk mengabdikan dirinya kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dengan menjalankan agama secara benar, yaitu dengan mendirikan shalat dan menunaikan zakat; itulah yang disebut sebagai agama yang lurus.
Selain pada ayat di atas, perintah untuk ikhlas dalam beragama, yakni menunaikan ibadah dan ketaatan kepada Allah, juga terdapat dalam surat az-Zumar: 2,11,14, al-A’raf: 29, dan surat Ghafiir: 14 dan 65.
Dari beberapa ayat di atas dapat dipahami bahwa kedudukan ikhlas sangat besar peranannya dalam suatu ibadah, baik ibadah dalam arti khusus maupun umum. Faktor keikhlasan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan suatu perbuatan itu dapat diterima atau ditolak oleh Allah SWT. Sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Katsir ketika menafsirkan surat al-A’raf: 29 di atas, bahwa Allah memerintahkan agar istiqamah dalam beribadah, yaitu dengan cara mengikuti ajaran para rasul dan ikhlas dalam beribadah; karena Allah SWT tidak akan menerima suatu amal sehingga terpenuhi dua rukun, yaitu: pertama, amal perbuatan itu harus dilakukan dengan benar sesuai dengan hukum syari’at, dan kedua, amal perbuatan tersebut harus bersih dari tindakan syirik.
Syaikh Shalih Al Fauzan juga mengatakan bahwa Ikhlas merupakan salah satu pilar yang terpenting dalam Islam sebab ikhlas merupakan salah satu syarat untuk diterimanya ibadah.[4]

D.            Keistimewaan Orang-orang yang Ikhlas

Orang-orang yang ikhlas merupakan orang-orang yang bersih dari dosa karena mereka telah berusaha membersihkan dirinya dengan benar-benar melaksanakan segala perintah Allah denga tulus. Dalam beraqidah mereka benar-benar mengesakan Allah SWT. dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain seperti halnya orang-orang musyrik, yahudi dan nasrani. Selanjutnya dalam melakukan ibadah dan amal kebajikan lainnya mereka kerjakan semata-mata karena Allah dan untuk Allah; bukan karena manusia dengan cara riya’ dan sum’ah, untuk mendapatkan popularitas dan kesenangan hawa nafsu lainnya. Oleh karena itu wajar kiranya terhadap orang-orang yang ikhlas ini Allah SWT. menganugrahkan keistimewaan dan kelebihan kepada mereka, baik dalam kehidupan duniawi dan ukhrawinya.
Apabila kita kembali merujuk kitab suci al-Qur’an, maka akan kita temukan di dalamnya beberapa ayat yang menerangkan keistimewaan dan keutamaan orang-orang yang ikhlas, antara lain sebagai berikut.
Pertama, selamat dari kesesatan. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah dalam surat al-Hijr: 39-40 yang artinya sebagai berikut: Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka”. Dan begitu juga firman Allah dalam surat Shad ayat 82-83 yang artinya sebagai berikut: Iblis menjawab: “Demi kekuasan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas di antara mereka”.
Ayat di atas merupakan penggalan kisah Nabi Adam dan pembangkangan pertama yang dilakukan oleh iblis terhadap Allah SWT. Mereka adalah hamba Allah yang membangkang, durhaka, ingkar, sombong dan terkutuk yang diberi umur panjang—karena perminyaan mereka—hingga mendekati hari kiamat. Mereka ingin menyesatkan semua manusia untuk diajak ke neraka dengan bujuk rayunya yang manis. Maka berdasarkan ayat di atas, orang-orang yang ikhlas tidak akan dapat digoda oleh iblis dan sekutunya karena mereka telah mendapatkan perlindungan dari Allah SWT.
Kedua, dapat mengendalikan hawa nafsu. Hawa nafsu merupakan salah satu potensi yang ada dalam diri manusia yang selalu cendrung untuk mengajak manusia kepada kesenangan-kesenangan badaniah, pemuasan syahwat dan keinginan-keinginan rendah lainnya. Hal ini sebagaimana diterangkan Allah dalam al-Qur’an surat Yusuf: 53 yang artinya sebagai berikut: Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Di antara orang yang tidak mudah diperbudak oleh hawa nafsunya adalah orang-orang yang ikhlas. Seperti dikisahkan dalam surat Yusuf: 24 tentang Yusuf yang diajak berselingkuh oleh seorang wanita (Zulaikha), istri seorang raja Mesir. Namun berkat perlindungan Allah, ia selamat dari godaan hawa nafsu yang akan menjerumuskannya ke dalam kema’siatan.
Dengan demikian, sikap ikhlas akan membentengi manusia dari segala dorongan dan bujukan hawa nafsu, seperti keinginan terhadap kemewahan, kedudukan, harta, popularitas, simpati orang lain dan sebagainya. Di mana untuk mewujudkan keinginan-keinginannya tersebut kadang-kadang seseorang cenderung melakukan segala cara seperti dengan melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme. Di samping itu juga tidak segan-segan untuk menjilat atasan dan menginjak bawahannya, asalkan tujuannya tercapai.
Ketiga, do’anya akan dikabulkan Allah SWT.. Dalam menjalani kehidupannya di dunia, manusia seringkali dihadapkan kepada berbagai problema kehidupan yang tidak dapat ditanggulangi oleh dirinya sendiri. Dalam kondisi yang demikian, manusia biasanya baru menyadari akan kelemahannya dan tidak henti-hentinya berdo’a kepada Allah supaya cepat terbebas dari problema yang dihadapinya. Meskipun demikian, Allah SWT. akan tetap mengabulkan permohonan mereka jika memang dilakukannya dengan penuh keikhlasan. Sebagaimana dalam firman Allah dalam surat Lukman ayat 32 yang artinya sebagai berikut: Dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar.
Keempat, terhindar dari siksaan neraka dan masuk kedalam syurga di akhirat. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah SWT. Dalam al-Qur’an surat al-Shaffat : 40, 74, 128,160, dan 169. Ayat – ayat tersebut menjelaskan orang – orang yang telah disucikan Allah dari segala dosa dan noda sehingga menjadi orang – orang pilihan dan kesayangan-Nya.di dunia mereka telah diselamatkan dari segala kehinaan dan bencana, seperti yang dialami kaum Nabi Nuh, kaum ‘Ad, Tsamud dan kaum yang ingkar lainnya. Sementara di akhirat nanti mereka akan terbebas dari siksaan api neraka, serta akan mendapatkan balasan yang sempurna atas amal saleh yang telah mereka lakukan berupa kenikmatan di dalam surga yang tiada tandingannya, kenikmatan yang belum pernah terlintas pada pendengaran, penglihatan, dan hati manusia. Itulah balasan dari Allah SWT kepada orang – orang yang ikhlas dalam beraqidah, beribadah, dan bermuamalah.

E.            Orang-orang yang ikhlas memiliki ciri - ciri, diantaranya:

1.  Selalu memandang diri sendiri
2. Khawatir terhadap popularitas
3. Cinta dan benci karena Allah
4. Tidak terpengaruh oleh kedudukan dan pangkat
5. Tetap beramal meski belum terlihat hasilnya.

F.             Kesimpulan

Sikap ikhlas dapat membuahkan hasil yang baik dan positif pada diri seseorang. Memang kata ikhlas sangat mudah diucapkan tetapi sukar untuk dilaksanakan. Begitu banyak keistimewaan dan keutamaan yang dijanjikan Allah bagi hamba-Nya yang ikhlas, namun terasa sulit mengamalkannya. Mudah – mudahan makalah  yang sederhana dalam tulisan ini akan dapat menambah motivasi bagi setiap umat Islam untuk selalu ikhlas dalam melakukan segala aktivitas yang diridai Allah.


DAFTAR PUSTAKA
_____________Erbe Sentanu,2008, Quantum Ikhlas Tekhnologi Aktivasi Kekuatan Hati, Jakarta: PT Elex Media Komputindo
_____________ Drs. Sidi Gazalba, 1975, ASAS AGAMA ISLAM,.Jakarta:Bulan Bintang




[1] Drs. Sidi Gazalba, 1975, ASAS AGAMA ISLAM,Jakarta:Bulan Bintang. hlm: 188
[2] Erbe Sentanu, Quantum Ikhlas hlm: 37
[3] HR. Abu Daud dan Nasa’i.

[4] Syaikh Shalih Al Fauzan Kitab Tauhid I hlm. 85,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar