BAB I
PENDAHULUAN
Amal yang pasti diterima adalah yang dikerjakan dengan
ikhlas. Amal hanya karena Allah semata, dan tidak ada harapan kepada makhluk
sedikit pun. Niat ikhlas bisa dilakukan sebelum amal dilakukan, bisa juga
disaat melakukan amal atau setelah amal dilakukan. Salah satu karunia Allah
yang harus disyukuri adalah adanya kesempatan untuk beramal. Menjadi jalan
kebaikan dan memberikan manfaat kepada orang lain. Karenanya, jangan pernah
menunda kebaikan ketika kesempatan itu datang. Lakukan kebaikan semaksimal
mungkin dan lupakan jasa yang sudah dilakukan. Serahkan segalanya hanya kepada
Allah. Itulah aplikasi dari amal yang ikhlas.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ikhlas
Ikhlas adalah suci dalam niat; bersih batin dalam
beramal; tidak berpura-pura; lurus hati dalam bertindak; jauh dari riya’ dan
kemegahan dalam berlaku-berbuat, mengharapkan ridha Allah semata-mata.[1]
Ikhlas
merupakan amalan hati yang paling utama dan paling tinggi dan paling pokok,
Ikhlas merupakan hakikat dan kunci dakwah para rasul sejak dahulu kala.
Menurut Erbe
Sentanu ikhlas merupakan Defaul Factory Setting manusia, yakni manusia sudah
dilahirkan dengan fitrah yang murni dari ilahi.
Hanya saja manusia itu sendirilah yang senang mendiskonnya sehingga
kesempurnaannya menjadi berkurang. Ini akibat berbagai pengalaman hidup dan
ketidak tepatan dalam berfikir atau berprasangka (judgment), sehingga hidupnya
pun menjadi penuh kesulitan.[2]
Lafaz ikhlas menunjukkan pengertian jernih, bersih dan suci
dari campuran dan pencemaran. Sesuatu yang murni artinya bersih tanpa ada campuran, baik yang
bersifat materi maupun nonmateri. Adapun pengertian ikhlas menurut syara’
adalah seperti yang diungkapkan oleh ibnu qayyim berikut: Mengesankan Allah
dalam berniat ketika
melakukan ketaatan, bertujuan hanya kepada Nya tanpa mempersekutukan Nya dengan
sesuatupun. Dan menurut Al- Fairuzabi :” Ikhlas karena Allah , artinya
meninggalkan riya’ dan tidak pamer.
Orang yang ikhlas adalah seseorang yang tidak peduli
meskipun semua penghargaan atas dirinya hilang demi meraih kebaikan hubungan
kalbunya dengan Allah, dan orang tersebut tidak ingin apa yang ia lakukan
dipamerkan walaupun sebesar bizi zahrapun.
Sebagaimana Firman Allah SWT dlam surat Az- zumar ayat 14
14.
Katakanlah: "Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku".
Dan dalam surat Al- An’am ayat 162-163
162.
Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah
untuk Allah, Tuhan semesta alam.
163.
tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku
adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)".
Dikisahkan oleh Umamah ra, ada seorang laki-laki yang datang
menemui Rasulullah SAW dan bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah pendapat
Engkau tentang seseorang yang berperang dengan tujuan mencari pahala dan
popularitas diri. Kelak, apa yang akan ia dapat di akherat?” Rasulullah SAW
menjawab, “Dia tidak mendapatkan apa-apa. Orang itu mengulangi lagi
pertanyaannya sampai tiga kali. Tetapi Rasulullah SAW tetap menjawabnya, “Ia
tidak menerima apa-apa!” Kemudian Beliau SAW bersabda, “Sesungguhnya
Allah tidak menerima suatu amal perbuatan, kecuali yang murni dan yang
mengharapkan ridha-Nya”[3]
B.
Makna Ikhlas dalam al-Qur’an
Secara etimologis, kata ikhlas merupakan bentuk mashdar dari
kata akhlasha yang berasal dari akar kata khalasha. Menurut Luis Ma’luuf, kata
khalasha ini mengandung beberapa macam arti sesuai dengan konteks kaliamatnya.
Ia bisa berarti shafaa (jernih), najaa wa salima (selamat), washala (sampai),
dan I’tazala (memisahkan diri).
Bila diteliti lebih lanjut, kata ikhlas sendiri sebenarnya
tidak dijumpai secara langsung penggunaannya dalam al-Qur’an. Yang ada hanyalah
kata-kata yang berderivat sama dengan kata ikhlas tersebut. Secara keseluruhan
terdapat dalam tiga puluh ayat dengan penggunaan kata yang beragam. Kata-kata
tersebut antara lain : kata khalashuu, akhlashnaahum, akhlashuu, astakhlish,
al-khaalish, dan khaalish masing-masing sebanyak satu kali. Selanjutnya kata
khaalishah lima kali, mukhlish (tunggal) tiga kali, mukhlishuun (jamak) satu
kali, mukhlishiin (jamak) tujuh kali, mukhlash (tunggal) satu kali, dan
mukhlashiin (jamak) sebanyak delapan kali.
Selanjutnya, ditinjau dari segi makna, termenologi ikhlas dalam al-Qur’an juga
mengandung arti yang beragam. Dalam hal ini al-Alma’i merinci pemakaian termenologi tersebut kepada empat macam :
Pertama, ikhlas berarti al-ishthifaa’
(pilihan) seperti pada surat Shaad : 46-47. Di sini al-Alma’i mengutip
penafsiran dari Ibn al-Jauzi terhadap ayat tersebut yang intinya bahwa Allah
telah memilih mereka dan menjadikan mereka orang-orang yang suci.
Kedua, ikhlas berarti al-khuluus min
al-syawaa’ib (suci dari segala macam kotorn), sebagaimana tertera dalam surat
an-Nahl : 66 yang membicarakan tentang susu yang bersih yang berada di perut
binatang ternak, meskipun pada mulanya bercampur dengan darah dan kotoran ;
kiranya dapat dijadikan pelajaran bagi manusia.
Ketiga, ikhlas berarti al-ikhtishaash
(kekhususan), seperti yang terdapat pada surat al-Baqarah : 94, al-An’am : 139,
al-A’raf : 32, Yusuf : 54, dan al-Ahzab : 32.
Keempat, ikhlas berarti al-tauhid
(mengesakan) dan berarti al-tathhir (pensucian) menurut sebagian qira’at.
Ikhlas dalam artian pertama inilah yang paling banyak terdapat dalam al-Qur’an,
antara lain terdapat dalam surat al-Zumar : 2,11,14, al-Baqarah : 139, al-A’raf
: 29, Yunus : 22, al-Ankabut : 65, Luqmaan : 32, Ghaafir : 14,65, an-Nisaa :
146, dan al-Bayyinah : 5.
Adapun ikhlas dalam arti yang kedua (al-tathhiir) ditujukan
kepada orang-orang yang telah disucikan Allah hatinya dari segala noda dan dosa
sehingga mereka menjadi hamba Allah yang bersih dan kekasih pilihan-Nya. Hal
ini seperti yang tercantum dalam surat Yusuf : 24, al-Hijr : 40, al-shaffat :
40,74,128,166,169, Shaad : 83, dan surat Maryam : 51. Pada ayat-ayat tersebut
semuanya memakai kata mukhlashiin (jamak) kecuali surat Maryam : 51 yang
memakai bentuk tunggal (mukhlash). Selain itu semua kata mukhlashiin dalam
ayat-ayat tersebut selalu dikaitkan dengan kata ibaad (hamba).
C.
Ikhlas dalam Beragama
Menurut al-Jarjaani, pengertian ikhlas secara etimologis
adalah menjauhkan perbuatan pura-pura (riya’) dalam melakukan ketaatan.
Sedangkan secara terminologis, ikhlas adalah membersihkan hati dari segala noda
yang dapat memperkeruh kejernihan. Sementara itu menurut al-Alma’i, definisi
ikhlas secara syar’i adalah seseorang yang dalam perkataan, perbuatan dan
jihadnya semata-mata ditujukan untuk Allah seraya mengharapkan keridhaan-Nya.
Dari kedua definisi di atas dapat dipahami bahwa ikhlas
adalah menyengajakan suatu perbuatan karena Allah dan mengharapkan ridha-Nya
serta memurnikan dari segala macam kotoran dan godaan seperti keinginan
terhadap populeritas, simpati orang lain, kemewahan, kedudukan, harta, pemuasan
hawa nafsu dan penyakit hati lainnya. Hal ini sesuai dengan perintah Allah yang
tercantum dalam al-Qur’an surat al-An’am ayat 162-163, artinya : Katakanlah:
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri
(kepada Allah).”
Demikian juga dalam firman-Nya yang terdapat dalam surat
al-Bayyinah ayat 5.
artinya
: Mereka tidak disuruh kecuali untuk mengabdikan dirinya kepada Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dengan menjalankan agama secara benar, yaitu
dengan mendirikan shalat dan menunaikan zakat; itulah yang disebut sebagai
agama yang lurus.
Selain pada ayat di atas, perintah untuk ikhlas dalam
beragama, yakni menunaikan ibadah dan ketaatan kepada Allah, juga terdapat
dalam surat az-Zumar: 2,11,14, al-A’raf: 29, dan surat Ghafiir: 14 dan 65.
Dari beberapa ayat di atas dapat dipahami bahwa kedudukan ikhlas
sangat besar peranannya dalam suatu ibadah, baik ibadah dalam arti khusus
maupun umum. Faktor keikhlasan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
suatu perbuatan itu dapat diterima atau ditolak oleh Allah SWT. Sebagaimana
dikemukakan oleh Ibn Katsir ketika menafsirkan surat al-A’raf: 29 di atas,
bahwa Allah memerintahkan agar istiqamah dalam beribadah, yaitu dengan cara
mengikuti ajaran para rasul dan ikhlas dalam beribadah; karena Allah SWT tidak
akan menerima suatu amal sehingga terpenuhi dua rukun, yaitu: pertama, amal perbuatan
itu harus dilakukan dengan benar sesuai dengan hukum syari’at, dan kedua, amal
perbuatan tersebut harus bersih dari tindakan syirik.
Syaikh Shalih Al Fauzan juga mengatakan bahwa Ikhlas merupakan salah satu pilar
yang terpenting dalam Islam sebab ikhlas
merupakan salah satu syarat untuk diterimanya ibadah.[4]
D.
Keistimewaan Orang-orang yang Ikhlas
Orang-orang yang ikhlas merupakan orang-orang yang bersih
dari dosa karena mereka telah berusaha membersihkan dirinya dengan benar-benar
melaksanakan segala perintah Allah denga tulus. Dalam beraqidah mereka
benar-benar mengesakan Allah SWT. dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain
seperti halnya orang-orang musyrik, yahudi dan nasrani. Selanjutnya dalam
melakukan ibadah dan amal kebajikan lainnya mereka kerjakan semata-mata karena
Allah dan untuk Allah; bukan karena manusia dengan cara riya’ dan sum’ah, untuk
mendapatkan popularitas dan kesenangan hawa nafsu lainnya. Oleh karena itu
wajar kiranya terhadap orang-orang yang ikhlas ini Allah SWT. menganugrahkan
keistimewaan dan kelebihan kepada mereka, baik dalam kehidupan duniawi dan
ukhrawinya.
Apabila kita kembali merujuk kitab suci al-Qur’an, maka akan
kita temukan di dalamnya beberapa ayat yang menerangkan keistimewaan dan
keutamaan orang-orang yang ikhlas, antara lain sebagai berikut.
Pertama, selamat dari kesesatan. Sebagaimana telah
dijelaskan oleh Allah dalam surat al-Hijr: 39-40 yang artinya sebagai berikut: Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh
sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka
memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan
mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka”. Dan
begitu juga firman Allah dalam surat Shad ayat 82-83 yang artinya sebagai berikut:
Iblis menjawab: “Demi kekuasan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya,
kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas di antara mereka”.
Ayat di atas merupakan penggalan kisah Nabi Adam dan
pembangkangan pertama yang dilakukan oleh iblis terhadap Allah SWT. Mereka
adalah hamba Allah yang membangkang, durhaka, ingkar, sombong dan terkutuk yang
diberi umur panjang—karena perminyaan mereka—hingga mendekati hari kiamat.
Mereka ingin menyesatkan semua manusia untuk diajak ke neraka dengan bujuk
rayunya yang manis. Maka berdasarkan ayat di atas, orang-orang yang ikhlas
tidak akan dapat digoda oleh iblis dan sekutunya karena mereka telah
mendapatkan perlindungan dari Allah SWT.
Kedua, dapat mengendalikan hawa nafsu. Hawa nafsu merupakan
salah satu potensi yang ada dalam diri manusia yang selalu cendrung untuk
mengajak manusia kepada kesenangan-kesenangan badaniah, pemuasan syahwat dan
keinginan-keinginan rendah lainnya. Hal ini sebagaimana diterangkan Allah dalam
al-Qur’an surat Yusuf: 53 yang artinya sebagai berikut: Dan aku tidak
membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.
Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Di antara orang yang tidak mudah diperbudak oleh hawa
nafsunya adalah orang-orang yang ikhlas. Seperti dikisahkan dalam surat Yusuf:
24 tentang Yusuf yang diajak berselingkuh oleh seorang wanita (Zulaikha), istri
seorang raja Mesir. Namun berkat perlindungan Allah, ia selamat dari godaan hawa
nafsu yang akan menjerumuskannya ke dalam kema’siatan.
Dengan demikian, sikap ikhlas akan membentengi manusia dari
segala dorongan dan bujukan hawa nafsu, seperti keinginan terhadap kemewahan,
kedudukan, harta, popularitas, simpati orang lain dan sebagainya. Di mana untuk
mewujudkan keinginan-keinginannya tersebut kadang-kadang seseorang cenderung
melakukan segala cara seperti dengan melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Di samping itu juga tidak segan-segan untuk menjilat atasan dan menginjak bawahannya,
asalkan tujuannya tercapai.
Ketiga, do’anya akan dikabulkan Allah SWT.. Dalam menjalani
kehidupannya di dunia, manusia seringkali dihadapkan kepada berbagai problema
kehidupan yang tidak dapat ditanggulangi oleh dirinya sendiri. Dalam kondisi
yang demikian, manusia biasanya baru menyadari akan kelemahannya dan tidak
henti-hentinya berdo’a kepada Allah supaya cepat terbebas dari problema yang
dihadapinya. Meskipun demikian, Allah SWT. akan tetap mengabulkan permohonan
mereka jika memang dilakukannya dengan penuh keikhlasan. Sebagaimana dalam
firman Allah dalam surat Lukman ayat 32 yang artinya sebagai berikut: Dan
apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka
sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Dan
tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia
lagi ingkar.
Keempat, terhindar dari siksaan neraka dan masuk kedalam
syurga di akhirat. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah SWT. Dalam al-Qur’an
surat al-Shaffat : 40, 74, 128,160, dan 169. Ayat – ayat tersebut menjelaskan
orang – orang yang telah disucikan Allah dari segala dosa dan noda sehingga
menjadi orang – orang pilihan dan kesayangan-Nya.di dunia mereka telah
diselamatkan dari segala kehinaan dan bencana, seperti yang dialami kaum Nabi
Nuh, kaum ‘Ad, Tsamud dan kaum yang ingkar lainnya. Sementara di akhirat nanti
mereka akan terbebas dari siksaan api neraka, serta akan mendapatkan balasan
yang sempurna atas amal saleh yang telah mereka lakukan berupa kenikmatan di
dalam surga yang tiada tandingannya, kenikmatan yang belum pernah terlintas
pada pendengaran, penglihatan, dan hati manusia. Itulah balasan dari Allah SWT
kepada orang – orang yang ikhlas dalam beraqidah, beribadah, dan bermuamalah.
E.
. Orang-orang yang ikhlas
memiliki ciri - ciri, diantaranya:
1. Selalu memandang diri sendiri
2. Khawatir terhadap popularitas
3. Cinta dan benci karena Allah
4. Tidak terpengaruh oleh kedudukan dan pangkat
5. Tetap beramal meski belum terlihat hasilnya.
F.
Kesimpulan
Sikap ikhlas dapat membuahkan hasil yang baik dan positif
pada diri seseorang. Memang kata ikhlas sangat mudah diucapkan tetapi sukar
untuk dilaksanakan. Begitu banyak keistimewaan dan keutamaan yang dijanjikan
Allah bagi hamba-Nya yang ikhlas, namun terasa sulit mengamalkannya. Mudah –
mudahan makalah yang sederhana dalam tulisan ini akan dapat
menambah motivasi bagi setiap umat Islam untuk selalu ikhlas dalam melakukan
segala aktivitas yang diridai Allah.
DAFTAR PUSTAKA
_____________Erbe Sentanu,2008, Quantum Ikhlas Tekhnologi
Aktivasi Kekuatan Hati, Jakarta: PT Elex Media Komputindo
_____________ Drs. Sidi
Gazalba, 1975, ASAS AGAMA ISLAM,.Jakarta:Bulan Bintang